Perpaduan Budaya Nusantara Tampak Saat Upacara di Istana Merdeka
beritatimur.com – Pada Minggu, 17 Agustus 2025, suasana di Istana Merdeka terasa istimewa saat Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Dito Ariotedjo dan Wakil Menpora (Wamenpora) Taufik Hidayat tampil mengenakan pakaian adat Nusantara saat memimpin upacara detik-detik Proklamasi HUT ke‑80 RI. Penampilan ini mencuri perhatian karena mengombinasikan budaya dari beberapa daerah dalam satu sikap kenegaraan.
Menpora Dito hadir mengenakan beskap hitam dipadukan dengan peci gelap, celana panjang, serta sepatu hitam—dengan sentuhan khas palembang melalui songket kuning keemasan bercorak merah yang dipadukan secara harmonis dengan atasan Jawa. “Pakaian adat Palembang ini—songketnya Palembang, atasannya Jawa. Perpaduan,” jelasnya singkat ketika diwawancarai.
Sementara itu, Wamenpora Taufik memilih pakaian adat Jawa Barat—menggunakan beskap gelap dengan kain batik merah keemasan di antara atasan dan bawahan. Istrinya, Ami Gumelar, tampil anggun dengan kebaya putih panjang, bawahan merah bercorak kuning keemasan, dan selendang merah—mewakili estetika Nusantara secara klasik.
Dresscode Adat untuk Undangan Resmi: Fleksibilitas dan Nasionalisme
Sebagai informasi penting, Pemerintah menegaskan bahwa penggunaan pakaian adat dalam upacara di istana adalah opsional—terutama bagi undangan resmi. Masyarakat umum tetap diperbolehkan mengenakan busana rapi atau bernuansa merah putih tanpa harus memakai adat daerah. Hal ini demi menjaga fleksibilitas sekaligus semangat nasionalisme dalam peringatan HUT ke‑80 RI.
Dengan demikian, penampilan Menpora Dito dan Wamenpora Taufik bukan soal kepatuhan regulasi, melainkan pemilihan personal dan simbolik untuk menonjolkan keanekaragaman budaya, bahkan dalam ranah pemerintahan. Ini memperkuat narasi inklusif bahwa kemerdekaan dirayakan atas dasar kebersamaan budaya.
Artikulasi Simbol Budaya melalui Berbusana Adat
Secara sosiologis, pakaian adat menandakan identitas daerah dan kebanggaan lokal. Ketimbang sekadar aksesori, kombinasi Palembang-Jawa atau Sunda ini menyiratkan pesan persatuan dan keragaman. Apalagi di momentum kenegaraan, ketika figuran pembawa pesan adalah pejabat tinggi.
Menpora Dito dan Wamenpora Taufik menggunakan kesempatan ini sebagai kurasi visual: mempromosikan budaya dari berbagai wilayah Indonesia sekaligus mempraktekkan realitas Bhineka Tunggal Ika dalam penampilan kenegaraan.
Reaksi Publik dan Simbolisme Politik Halus
Media nasional dan masyarakat menyambut postur visual ini sebagai bentuk keharmonisan antara simbol kenegaraan dan kebudayaan lokal. Banyak komentar di media sosial menyebut bahwa pilihan busana ini berhasil mencairkan suasana seremonial dan memberi nuansa bersahabat, tanpa mengurangi khidmat acara.
Selain itu, di era dimana citra pemerintahan juga dinilai dari visual dan simbol, tindakan memakai pakaian adat menunjukkan keseriusan dalam menjalankan peran sebagai representatif negara. Baju adat bukan hanya hiasan—melainkan bentuk diplomasi budaya dalam negeri.
Penutup Reflektif
Penampilan Menpora Dito kenakan pakaian adat dan Wamenpora Taufik ungkap identitas budaya adalah wujud nyata dari semangat nasionalisme yang inklusif. Saat roda pemerintahan berjalan, simbol seperti ini memperkuat bahwa nilai budaya tidak hilang di tengah modernitas—malah jadi pijakan estetika dan simbolik yang kuat.
Ringkasnya
Menpora Dito dan Wamenpora Taufik memilih pakaian adat Nusantara saat upacara HUT ke‑80 RI sebagai cara mengartikulasikan kebersamaan budaya. Ini bukan soal kewajiban, tapi pilihan strategis yang menyuarakan semangat persatuan lewat keindahan busana tradisional.
Recent Comments